Sajak 1
Aku Mencintaimu
Aku mencintaimu tak berbilang
Tak ada panjang
Tak ada lebar
Tak ada panjang kali lebar
Tak ada tinggi
Tak ada dalam
Tak ada panjang kali lebar kali tinggi
Aku mencintaimu tak mampu kunilai
Tak ada besar
Tak ada kecil
Tak ada manis
Tak ada pahit
Tak ada...
Tak ada bilangan yang mampu menilai betapa aku mencintaimu.
Jika kau masih ragu
Ajarkan aku cara meyakinkanmu.
Sajak 2
Bahasa Dalam Sastra
aku ingin mengajakmu mengalir
menjalin huruf dan tanda baca dalam larik menjadi bait
aku ingin membawamu pada suatu alam
disana ada rasa, ada makna yang akhirnya kau lengkapi dengan getar
getar dalam debar saat kau dan aku bercinta denganya
cinta yang indah
indah yang nyata
nyata dalam bahasa
bahasa dalam sastra
Tabik
Puan Melayu
Sajak 3
Berita Langit
wajah di dinding penghambaan
desir angin bawa berita langit
Tabik
Puan Melayu
Sajak 4
Biar
biar hancur dalam debur
biar lebur saat kau tandur
biar luruh pada pauh
biar larut hidup terpaut
biar...
biar hancur lebur, diam
biar luruh larut, tawar
biar hancur larut, debar
biar lebur larut, padam
biar...
debur, tandur,pauh, terpaut
diam, tawar, debar, padam
Tabik
Puan Melayu
Sajak 5
Akhirnya
seperti puyuh hancurkan kota, burung dara menghadap raja, rama-rama menari manja, di tepi peradaban senja
Tabik
Puan Melayu
Sajak 6
Bocahbocah I
Tersadar namun tak mampu mengejar ketika bocah satusatu berlari menjauh mengikuti awan, kutanyakan pada langit "adakah kau melihatnya"?. Kukirimkan kabar pada petir dan guntur yang sedang marah karena bocah satusatu merobek lukisan penguasa langit, namun bocah tak perduli dan tak pernah tau bahwa nirwana murka, ku ikuti jejak mereka hingga aku harus meninggalkan nirwana.
aku mengejar bocah satusatu di gunung, di bukit, dasar laut, hutan, di air, di udara, di api, dan di tanah, siasia. Aku masuk ke perut bumi, kulihat bocahbocah menangis, naga merah berjaga dimatanya kulihat amarah. Kukatakan pada angin, "sampaikan pada nirwana aku telah bertemu, kirimkan padaku nyawa". Aku terkejut tatkala bocahbocah memakan daging dan menghisap darahnya sendiri, mereka tak lagi menangis, aku terdiam.
aku telah meminta nyawa, sekarang aku harus menghadapinya, dan membawanya kembali ke nirwana
(12 Maret 2009)
Tapaktuan, Aceh Selatan, NAD
Tabik
Puan MElayu
Sajak 7
BocahBocah II
Wahai langit berikan padaku tongkat yang mampu kalahkan naga itu, akan kuselamatkan bocahbocah ini yang sejatinya adalah anak yang lahir dari rahimku. Turunkan juga padaku mantra langit, akan kuajarkan segala bijak dan bajik kepada mereka, ku tau hidup di bumi akan berbeda sekali dengan di nirwana. Aku tak ingin bumi membenci mereka, sama seperti nirwana murka.
kubersihkan darah yang mengalir dari pori-pori tubuhnya, dan daging yang melekat di sela-sela gigi yang nyaris belum sempurna bentuknya. Dengan cinta, dengan mantra, kubesarkan mereka, pun air mata, duka dan derita, tetap kuberjuang demi mereka, dan kini mereka tumbuh dewasa.
satu hal yang tidak berubah dariku adalah, tampakku, busur waktu tak mampu merenggut kemudaanku, tubuhku indah dengan bentuk yang sulit kuurai dengan kata-kata, kecantikanku pun semakin memancar. Atas ijin Penguasa langit, anak-anakku boleh saling menikahi, dengan ketetapan yang mempunyai tanda lahir di bahu kanan menikah dengan tanda lahir di bahu kiri, anak-anakku yang berjumlah 8 orang, 4 laki-laki dan 4 perempuan mematuhinya dengan kombinasi yang sangat sederhana yaitu ganji dengan genap, tidak boleh sesama genap atau sesama ganjil.
Satusatu meminta ijinku untuk naik ke permukaan bumi, tidak mengapa karena sudah kuajarkan bagaimana hidup bersama dengan hutan, gunung, laut, bukit, padang pasit, gurun sahara, padang sabana. Kuberikan juga bekal bertahan atas 4 unsur hidup yaitu : air, api, tanah, dan udara, pesanku " berdamailah kau dengan mereka-mereka itu, dalam diam, dalam gerak, dalam kata, dalam detak, hingga semua selalu seimbang seperti semula saat bermula.
Kau dirikanlah kerajaan, sebagai pengendali atas keturunanmu nanti. Karena kau akan memiliki banyak sekali keturunan, ada anak, ada cucu, cucu mempunyai anak, hingga kau tak mampu mengenali mereka satu-satu. Kerajaan itu tempat kau berkumpul, membahas segala kebutuhan hidupmu, menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul, karena kau memiliki nafi-nafsi, yang kadang tak mampu kau kendalikan. Bawalah mantra ini, ingatlah bahwa sesungguhnya kalian adalah anak-anak langit yang karena kenakalan kalian, kalian pergi dari nirwana dan turun ke bumi. Bersatulah, berdamailah, kalahkan nafsi , hidupkan bijak dan bajik dalam diri kalian, setelahnya kalian akan kembali ke nirwana dan tugasku sudah selesai.
aku menanti disini, di inti bumi, saat masa kehancuran tiba dan membawa kalian kembali ke nirwana. ingat olehmu wahai anak-anakku, jika kalian gagal maka kehancuran akan tiba lebih dahulu dan terjadi tanpa kalian sadari sebelum kehancuran yang sebenarnya terjadi, camkanlah. Aku akan menegurmu dengan getar, aku akan marah padamu lewat lelehan api dari gunung yang adalah air mataku, lewat gejolak ombak laut yang adalah detak jantungku
Sajak 8
BocahBocah III
Wahai anak-anakku, pendiri kerajaan bumi, putra dan putri langit yang turun karena nirwana murka. Apa yang telah kau lakukan, mengapa bumi pun murka terhadapmu, berkali-kali aku sudah memperingatkanmu tidak kah terasa olehmu amarahku lewat gelombang laut yang menghempas dan menghancurkan hingga dalam waktu sekejap ribuan bahkan ratusan ribu nyawa terenggut.
Juga mengapa tak kau hiraukan getar resahku, yang mampu hancurkan bangunan-bangunan yang kau katakan akankuat menahan segala getar. Tidak anakku..percayalah kekuatanku jauh lebih besar dari apa yang pernah kau bayangkan sekalipun karena aku yang melahirkanmu, kau kubesarkan dalam rahim suci atas ijin penguasa langit. Air mataku mengalir, begitu pedih hingga mampu membakar apapun yang dilewatinya..gunung-gunung meletus. Sungguh aku pun telah berusaha mendamaikan hatiku dan mengerti bahwa apapun yang kau lakukan di bumi semata-mata karena kelalainmu. Berkali-kali kumaafkan dan mendiamkan tapi apa yang kau lakukan jauh dari apa yang pernah aku bayangkan, aku tidak ingin kehancuran itu datang sebelum waktunya. Kembalilah pada mantra yang telah kuberikan sebagai bekal hidupmu.
Ingatlah kembali pada malam dan siang, aku membacakan dan menjelaskan satu-satu isi mantra itu. Apa yang terlewat olehku, kurasa tidak ada, kujelaskan bagaimana kau bertahan hidup dengan membaca, tidak hanya sekedar membaca apa yang tertulis di depanmu. Tapi membaca apa yang terasa olehmu, terasa oleh segala indera yang melengkapi kau sebagai manusia. Membaca gunung, membaca laut, membaca tanah, membaca pasir, angin, batu, langit, bulan dan bintang, bacalah mereka-mereka itu semua. Mereka yang akan menjagamu, memberimu hidup, membuatmu mampu bertahan hingga sang waktu
Aku pun mengajarkan mantra bagaimana kalian memilih pemimpin, jumlah kalian nanti akan sangat banyak sekali nak, perkawinan demi perkawinan akan menghasilkan banyak sekali keturunan. Dan aku tak sempat mengajarkan kepada mereka satu-satu apa yang tertulis dalam mantra ini, kalianlah nanti yang akan menyampaikan kepada mereka. Dalam banyak, perlu ada seseorang yang mengatur karena dalam dirimu ada nafsi, dan terkadang kau tak mampu untuk mengendalikan hingga kau yang dikendalikan olehnya. Nafsi akan kekuasaan, nafsi akan wanita, nafsi akan harta, nafsi akan amarah, pun nafsi akan keindahan. Tidak cukupkah aku memberimu bekal? masih kurangkah apa yang tertulis di dalam buku mantra itu?
Semua adalah sebab akibat anakku, kau harus tau itu, apa yang terjadi saat ini bisa jadi adalaj sebab dari apa yang akan terjadi di masa yang datang juga bisa menjadi akibat dari sebab yang terjadi di masa lalu, tidak ada yang kebetulan. Pun jika kau menginginkan perubahan sudah keberikan pedomannya, bacalah anakku, bacalah olehmu, hingga kau selamat berjalan di atas bumi. Aku ingin sekali mengahiri tugasku, aku rindu sekali nirwana, aku lelah menangis, menegurmu berkali-kali, aku tak ingin penguasa langit iba akan diriku dan menyebabkan kehancuran datang lebih cepat dari apa yang direncanakan.
tidak ada yang terjadi dengan tiba-tiba anakku, segala apa memiliki hakikat kejadiannya, renungkanlah
Sajak 9
Demi Segala
Rembulan berpendar di pucuk cemara
bintangbintang dalam gugusan membentuk lentera semesta
burung punai memandang wajah luka
peradaban berjaga siaga
suara kala hentikan gerak pada ketukan birama
wahana atas candra seketika murka
jiwajiwa lantunkan kidung memuja durga
dewadewa pucat pasi tak ingin memaksa
dicencang sekelebat detak
diremas semburat merah pada bentuk
diretas hidup
didera asa yang tak jua bernada
roda yang berputar baling
tahta yang bercengkrama maling
wanita hiasan dunia
ibu suri duduk di singgasana
sibuk melecut dahaga
kelana hanyut dalam tapa
riwayat rajaraja buruk rupa
pandita, rahib, ustadz, berdoa penuh makna
menangis ketika kalam diperdebatkan
segala apa, segala daya
segala upaya, segala usaha
segala doa, segala pinta
segala...
demi aku, demi kau
demi dia, demi kita
demi mereka, demi kalian
demi...
demi segala, pasir besi, tatal baja, meleburlah
Sajak 10
Derita
Lentera dalam ruang tak berjiwa,
Mengembara ke lapis langit, ke inti bumi
Bersuara tanpa suara…suara
Tabik
Tabik
Sajak 11
Fatamorgana
layang-layang putus sudah
menggantang asap di keranda tak beratap
Tabik
Sajak 12
Gugusan Raja
Dari satu gugusan ke gugusan yang lain, dari satu orbit ke orbit yang lain, bentukan demi bentukan cerita tentang dunia. Dunia yang penuh dengan barisan, dengan gulungan, dengan pintalan dan sulaman yang menjadikannya sirna. Sirna pada bentangan, pada hempasan, pada helaan dan tempias hingga bias terliat oleh mata, hingga ratna tak sanggup berkata. Berkata hingga kokok ayam sirnakan kelam, hingga bayang siang hadirkan jingga senja, hingga bulan dan bintang menyapa, bersumpah pada raja.
raja melintas, bekerja, dan bertanda
Tabik
Sajak 13.
Hari Ini Ada Pesta
bangun tidur kulihat matahari
ibu memanggil menyuruhku mandi
bangun tidur ku segera berlari
hari ini ulang tahun sahabatku dewi
celana kodok baju gambar pelangi
topi merah sepatu warna warni
senang riang hatiku hari ini
di sekolah bernyanyi dan menari
kado mungil boneka panda
aku dan ibu belanja di ramayana
ayah cepatlah jangan lama
hari ini temanku berpesta
Tabik
Sajak 14
Kelana Langit
menapak lapis langit
menelusuri busur jejak tersembunyi
mencari mantra
berkaca dalam tapa
kelana langit, ruang tanpa jiwa
Sajak 15
Ketukan Tanpa Akhir
rambut indah itu bersimbah darah, tulangbelulang hiasan ujung lebur digerus roda jaman, tapi tetap saja tak bergeming, diam dalam ketukan ketiga tak jua berpulang. Sesaat pertemuan terkubur pada tanah tak bertuan, ya bentukan tak sempurna saling bicara, menatap pada arah, teriak lelah... berbaringlah
sunyi, terhempas di jalan setapak, mengais-ngais makhluk pada wujud menatap, tertunduk hingga lekukan seolah debar tanpa akhir. Menggenapi hitungan, putingmu memerah seperti luka, menganga hingga tampak olehku nadimu yang enggan hadirkan hidup, hitam bagai arang... jalang
percikan air hina, basuh tubuh telanjang, menolak katakan kalam, merayap di dinding gerbang menuju pusat berdebu. kembali padaku di sejajar resah, di penjuru rupa gundah, lamatlamat bisikan lirih kau sampaikan pada tubuh rapuh, ia menolak genggam, tepiskan janji alam, sudah kau rasakan... berpulanglah
ketukan ketiga
debar tanpa akhir
pusat berdebu
(09 Maret 2009)
Sajak 16
Lelaki Tua
Deru omba menghempas pantai menambah kelam suasana, lelaki tua berjalan sendiri. Angin bertiup kencang, terkadang tubuh tua itu oleng hingga jatuh, tapi dia tidak berhenti dan terus saja menapaki jejak perpisahan yang meninggalkan tangis dalam diri. Namun penyesalan selalu datang di akhir, saat benih telah tumbuh dan membesar, benarlah kata tetua jaman "apa yang kau tanam itulah yang kau tuai. Ketika air mata sudah tidak mampu mewakili rasa, maka yang dilakukannya adalah tertawa, mentertawakan hidup, mentertawakan derita.
Lelaki tua berjalan dalam duka yang dibungkus tawa
Tabik
Puan Melayu
Sajak 17
Lentera Naga
Bau belerang dari lereng gunung merapi menambah pekat malam, kabut dari pengembaraan panjang antar ruang menghalangi kelana menelusuri bayang. Gelap dalam tatap, kilatan menusuk sukma hingga makhluk tanah enggan berucap, hanya diam coba bertahan. Berpestalah, pada satu titik, pada satu sumbu, pada satu nafas atas hidup dan pertemuan.
Dingin menghentak kesadaran terdalam, cahaya dari lentera naga, bukan... bukan itu
(15 Maret 2009)
Sajak 18
Lintasan Cerita
selimut kabut dari bukit kintamani, suarasuara dari lautan tak bertepi
aku menyeru kepada langit, kepada awan, kepada matahari
bawa padaku lentera, tunjukkan padaku cahaya
air mata membias redup jingga
membawa segala duka dari ruang tak berongga
musikus mainkan nada tak bernyawa
halilintar menari-nari hempas seribu warna
ruh dalam tubuh hidup
cahaya dalam kristal bening
detak pada nada
lintasan pada cerita
Tabik
Sajak 19
Lintasan Langit
seperti mengenggam cahaya dalam hitungan waktu
pada lintasan benda langit
saling memberi tapi tidak mengharap
seolah menanam benih harapkan bulir
benih mati matahari menangis
bertanya pada malam hadirkan mimpi
ruang sepi depan pohon waru
bukan bulir bukan mimpi
pada waktu pada lintasan
ruang hampa tak berujung
hanya mimpi pada lintasan langit
(08 Maret 2009)
Sajak 20
Malam Aku Merindumu
ketika bulan gantikan matahari
bintang hiasi langit malam
kunang-kunang menari indah sekali
duduk termenung aku sendiri
tawamu hiasi kenang dalam angan
senyummu peluk aku hangatkan tubuh
gelak tawamu sentuh kalbu
dirimu bagai gelombang panas yang menjalar dalam setiap relung jiwaku
aku terbakar cintamu
kepada getar kusampaikan debar
debar hatiku menantikan saat bertemu denganmu
selayaknya cerita rama dan sinta
kau dan aku larut dalam cinta
berdamai dengan denting berkawan dengan dentang
menghitung detik jadikan menit kuharap cepat berlalu
wahai kanda
ingatlah dinda, hadirlah dalam mimpiku
sebagai pengobat rindu hatiku
dan kukirimkan sajak ini sebagai ganti diriku
(06 Maret 2009)
Sajak 21
Mati Diri
Senandung sunyi dari tepian harap, ketika anak kecil berlari mengejar mimpi dari genggaman penguasa malam. Tangis bayibayi dari rahim tak berpenghuni terus saja menghantui, doa ibu dan para pendahulu berpendar dari satu sisi ruang yang sejatinya adalah ilusi. Berteriak pecahkan kelam, tertawa hingga air mata hadir di sudut rasa.
Satusatu pergi dan tidak pernah kembali lagi
Perempuan bisu menatap hampa pada lelaki tuli, menari dengan petikan dawai mainkan melodi sepi. Arak-arakan semakin mendekati puncak, keramaian dari balik bukit kintamani menghalau serpihan masa lalu yang melintas. Tak ada suara, tak ada nada, mengiris, menyayat, menggerogoti, mengorek kembali irama hati.
hidup mati, mati diri
(16 Maret 2009)
Sajak 22
Melodrama
tanah menangis undang sejuta kunang-kunang
batu meringis nanar memandang
pasir menjerit rindu pelukan
lumpur merintih remuk redam
langit teriak usir seribu rama-rama
bulan membisu enggan berkawan
bintang terluka redup seketika
matahari resah menjauh terdiam
Tabik
Sajak 23
Perempuan Dalam Bisikan
keheningan malam
kekuatan alam
perempuan dalam dendam
kesunyian kelam
kembali diam
perempuan tertawa suram
Dalam bisik, menatap tajam kehidupan
Sajak 24
Perempuan Dalam Malam
Perempuan berjalan dalam malam, digendongannya ada bayi diam. Darah menetes membasahi kain penutup tubuh, tali pusar menjilat tanah hingga getarnya terasa ke inti bumi. Tibatiba dia tertawa, tapi ahh...itu bukan tawa. Itu adalah suara luka yang memekakkan telinga, lahir dari rahim yang diperkosa jaman, yang dihinakan kalam.
Perempuan berjalan membawa cinta, pada tubuh dalam jiwa
Tak ada yang tau kemana, perempuan tersenyum hatinya luka
Tabik
Sajak 25
Ruang Asing
ruang ini terasa asing, tak kutemukan gorden putih penutup jendela, dindingdinding menelanjangiku dalam tatap tajam penuh hina, di sudut sana seraut wajah diam mata terpejam, aku tenggelam. lalu kata berpaling pertanda, selimut memeluk, kebosanan menghantam, tibatiba jarum jam berputar kencang, sebentar sebentar, kukejar kukejar. ahh...ruang ini terasa asing sekali.
Tabik
Puan Melayu
Sajak 26
Sekelebat Terhampar
Meretas badai, mencencang gemuruh senja
Desir angin hapus segala peluh
Pada limpasan waktu
Pada riak dan gelombang pilu
Namun nelayah tak pernah gentar
Tebar jala rengkuh segala benar
Dari permainan yang tak pernah usai
Bentukanbentukan sejarah masa silam
Harus berakhir di sekelebat terhampar
Tabik
Sajak 27
Sumber Cahaya
sinar yang memantul dari sebilau pisau sungguh menyilaukan, namun terus dipaksanya untuk menatap sumber cahaya. begitu perih, air mata mengalir tubuh menangis, melangkah tertatih ke satu tuju. ketika gelap indera, ketika buta rasa, ketika kilau pantul cahaya, sebilah pisau jadi telunjuk, jadi penunjuk, jadi sebab tubuh meringkuk. digenggam darah mengalir, menuju ke titik akhir, tak sempat bertemu cahaya ketika goresan bercerita. ceritanya tentang pohon di tengah sahara, dahaga di danau berwarna, memutus titian perjalanan, rapuh , jatuh , tak utuh.
Tabik
Sajak 28
Sajak Berjalan
Lihatlah karang itu, lalu ceritakan padaku tentangnya, rabalah cadas itu, beritakan kepada dunia, kabarkan pada semesta karena mereka membutuhkannya, bergeraklah ke kutub hangatkan dingin cairkan beku. Ketika laut, bukit, gunung, dan gurun saling menjabat tak pernah mendebat jalankan kondrat selayaknya makhluk bemartabat. Maka berkasih sayanglah sehingga terasa olehmu cadas, terlihat olehmu karang, dan kebekuan itu hanyalah tampak luar saja sesungguhnya hangat di dalam.
Saat hujan, saat badai dan gelombang resah memporak-porandakan kapal, layar tak mampu terkembang, nakhoda layaknya pejuang tak akan pernah surut ditangannya dayung, dikayuhnya satusatu. Mutiara itu tersimpan jauh di dasar samudera pisahkan benua, berhentilah sejenak sudahkah kau lihat kilaunya, beningnya, indahnya, yang mampu membuatmu enggan teteskan air mata karena begitu banyak yang telah hilang dalam perjalanan yang kau tempuh, tersenyumlah.
Sendiri langkahkan kaki lintasi gurun pasir, berjalan terus saja berjalan, kemana kau cari oase itu yang mampu redahkan dahaga, yang membuatmu bertahan hingga langkah membawamu pada tuju. Usah kau risaukan ular berbisa, hewan pemangsa, dan tipuan mata gunakan semua yang kau miliki. Karena aku sudah memberimu banyak hanya saja kau tak mampu mengenalinya, hilang satu dua ditelan masa, sekarang kau buta...merabalah, berjalanlah kau tak akan apa.
Ketika kau bersembunyi di tengah rimba perawan, tinggalkan kelam dengarlah suara alam bernyanyilah bersama menarilah sebagai suatu daya, daya itu gerakkan jiwa dan temukan asamu disana. Di tengah bukit yang berselimut kabut, merunduklah, sujudlah pada alam, hingga ragamu yang selalu berjalan menengadah tau dan sadar bahwa sebenarnya kau kalah. Saat kau menangis karena sudah jauh berjalan, bukit itu akan segera memelukmu dan berkata "kau buah hati kami, saat sedih melandamu datanglah pada kami, gunungmu, bukitmu, lautmu, hutan dan gurun pasirmu, kamilah yang akan menyayangimu tanpa perlu kau pertanyakan sayang itu, kau tak sendiri ", maka usap lah air matamu.
Anakku, sudah banyak kutuliskan pesan untukmu jika aku tak ada saat resah dan sedihmu, maka bacalah sajak ini dan ingatlah aku, kembalilah pada jalanmu dan yakinlah bahwa aku akan selalu melihat dan menjagamu. Ini sajak berjalan, dia akan berjalan dan tiap lintas akan tinggalkan pesan karena beda pula kesan yang dia dapat dari tiap perjalanan, kuatkanlah hati dan tekadmu hadapi hidup ini karena ada darah pejuang yang mengalir di tubuhmu.
Ibumu yang selalu menyayangimu
(08 Maret 2009)
Sajak 29
Tertawa Dalam Diri
suara tawa dari akhir perjuangan panjang kadang terdengar seperti teriakan kelam atas duka dan pedih, karena dia tidak lagi bisa membedakan rasa yang mengalir di tubuhnya, bahagiakah, sedihkah, ya...mendengar tawa itu akan membuat sekujur tubuhmu kaku, kau tak akan berani untuk menatap wajahnya...binar matanya melesatkan lintasan peristiwa kelam..hmm...menjauhlah darinya, karena dia ingin menikmati tawa itu sendiri, tertawa dalam diri, raga dan jiwa mati.
(10 Maret 2009)
Tapaktuan, Aceh Selatan
Sajak 30 Dentang Waktu
tik ... tak... tik... tak
jarum jam berputar lagi
ingatkan diri akan pujangga hati
tak akan kemana dia kau cari
tanya pada Sang Pemilih Hati
tik ...tak ... tik .... tak
deru nafas detak jantung
dalam irama kalut ceritakan resah
penantian akan makna cinta
perjalanan hapuskan luka
tik ..tak... tik... tak...
sepertiga putaran menari lagi
bangun wahai puan berselimut
basuh wajah sujud kau menghamba
kepada-Nya kau meminta
jarum jam tak pernah berhenti
berputar dan berputar lagi
daur hidup berganti-ganti
syukur nikmati yang telah diberi
(03 Maret 2009)
Sajak 31
Pengorbanan
Ketika pegasus bergerak menentang fajar, rerupa lelanang hadir menyalib diri
Puan Melayu
PuanMelayu
Sajak 32
Medan, 30 Maret 2009
Siasia
Dia yang bersendung tentang hari akhir, yang tidur di atas awan, makan dari kering bangkai perawan kini hanya diam, memandang dari kejauhan. Berseru atas alam, bersekutu dengan bulan siasia, matahari murka, bintang tiada. Malam seterang siang, tak ada beda awal dan akhir. Semua pada lintasan, pada gugusan, pada onggokan, pada serpihan, pada letusan, bersitatap dalam tangis, namun pinta telah diucap, dia tak ingin gelap.
Dia dalam terang, makan kering bangkai perawan
Tabik
Puan Melayu
Sajak 33
Batam, 30 MAret 2009
Perjuangan Hidup
Perempuan terbuang dari pedalaman tak bertuan, mencoba merangkai pasir, meremas air, memilin udara jadi istana
TAbik
Puan Melayu
Sajak 34
Batam, 30 MAret 2009
Hang Tuah
Hang Tuah di tengah pertempuran, sedu sedan melihat laut merah, melihat angkara tumpah, merasai hidup begitu tak berfaedah, namun mundur bukan apatah.
Hang Tuah di ujung kematian, dalam setarik nafasnya terhenti, dalam sedetak jantungnya terhentak. Lelah memenangkan jaman, mengakhiri peran, di sekelebat pertobatan
Hang Tuah hikayat tak terbantah, di semenajung malaka penyair berkisah. Sekarang cerita tak lagi bermakna, pesona hanya di lembar kenangan saja
O. Hang Tuah, tuah dalam sejarah
Puan MElayu
Tabik
Sajak 35
Batam, 30 Maret 2009
Nafsu Terjebak
Nafsu membakar jalinan pilinan pintalan bentukan pada ruangruang tak berjiwa, memecah gelombang alunan dawai tak bersenar, hingar pada bingar sunyi, riuh mencari redam, perih, suka dalam cita, hampa.
Nafsu melesat bagai suar, anak perahu berujung tak berawal
Tabik
Puan Melayu
Sajak 36
Batam, 31 Maret 2009
Petualangan Jati
kemudi kapal jati
berlayar nakhoda Robbi
samudera jelajah Rumi
dunia bumi tepi
kapal, nakhoda, jelajah, bumi
mencoba kitari diri
mengukur kisaran hati
meluruh waktu paruh
menyentuh sanubari penuh
Tabik
Puan MElayu
Sajak 37
Batam, 31 Maret 2009
Celah Jiwa
Matahari menatap tajam, awan berarak menuju selatan, burung-burung hijrah berganti musim; pada tiang pancang di muka awan, pada daun gugur di ujung taman, segala pinta pada Maha, segala Maha pada yang Kuasa. Hayat bercermin kisah, kisah terbungkus resah, resah bawa gelisah, gelisah temukan bahagia, bahagia tak kemana, di hati tak kemana.
Tabik
Puan Melayu
Simponi Tak Bernyawa
Orchestra pada tangga nada ketiga
ketukan pada jala birawa
denting jantung petik rongga dada
nirwana hantarkan maestro tak bernyawa
teruusssss, terussssss, mainkann
suara rintihan sukma
patahan tulang belulang
pecah darah membanjir
retak pada lembar simponi senja
mainkann, teruussss, terussss
tak pernah gemuruh selesaikan Orchestra
tak jua sepi hentikan nada-nada
melodi pada cabikan, tertawa
harpa seumpama fatamorgana
(11 Maret 2009)
Medan, 23 Maret 2009
Ruang Sunyi
Dalam diam seorang wanita tua menatap ruang, menelusuri bayang mencari kenangan diantara setumpuk jerami yang membusuk, bau hanyir menyeruak tatkala desir angin dari jendela tua menghempas satusatu bentukan tak bernyawa. Tergelak, lalu diam, menangis lalu diam, menjerit lalu diam, senyap tak ada suara hanya desah nafas dan degup jantung. Wanita tua dibalut kenangan luka atas bayibayi merah tak berdosa, mati dalam genggaman jaman, dibakar hingga asap dan debu menyatu dalam diri, dalam sadar, dalam tubuh enggan pergi dan berlari. Dingin menusuk hingga gemeretak tulang terdengar bagai nyanyian sunyi, disini wanita tua menepi atas angan yang membungkus benih yang telah mati.
wanita tua nikmati sunyi, hingga kematian menjemput diri
Tabik
Puan Melayu
Pegangan Kalam
Lapis dalam lintasan garis menuju penghulu alam dan singgungan pada bentuk yang menyatakan keabadian seringkali berbenturan dengan makna. Bentangan seolah tak lagi memerlukan pegangan, haluan seolah berlayar tanpa nakhoda, tidakkah ini gejala matahari melahap bulan, atau bumi membolak-balik kalam. Musafir mencoba mengungkap tabir, namun takdir berakhir di titik nadir.
Satusatu bangkit, singgungan dalam lintasan berbenturan pada pegangan kalam
(16 Maret 2009)
Tapaktuan, Aceh Selatan
Tabik
Puan Melayu
Tapaktuan, Aceh Selatan
(22 Maret 2009)
Jendela Kayu
Di depan jendela kayu lengkap dengan gorden merah tua, seorang pria muda duduk termagu. Di tangannya sebilah pisau, darah menetes satusatu lantai menangis, pria dalam diam memandang sepotong wajah yang memantul dari kaca jendela kala gerimis warnai senja. Bilurbilur luka pada tubuh menyatu hanya sementara, setelahnya bekas akan menjadi perantara waktu kala matahari gantikan bulan. Kehendak siapa, namun tak mengapa, pria tersenyum seketika, dan berkata "sudah tiba saatnya".
Keheningan panjang kala jendela kayu hampar cerita
Tabik
Medan, 27 Maret 2009
Perahu Waktu
perahu tambatkan waktu
kala jala enggan berlalu
kapal karam terumbu hilang
jangkar terbenam menua sesat
dayung merayu buih terurai
layar berseru ada kutikam
nakhoda berjaga lebam menjadi
sekoci rusak hidup dibenci
laut padu riak jadi hantu
tsunami datang benar adanya rindu
Tabik
Medan, 26 MAret 2009
Busur Angin
berjalan ke barat mengarak awan
merangkak ke utara menggiring bintang
tertatih ke timur meninggalkan bulan
melayang ke selatan menjemput kunangkunang
mengarak awan, menggiring bintang, meninggalkan bulan, menjemput kunangkunang
ke tenggara menyulam petala
ke laut, timur dan barat saling merajut
berjuta daya lalu mengangkasa
menyulam petala, saling merajut, lalu mengangkasa
Tabik
Puan Melayu
Medan, 27 Maret 2009
Melodi Mimpi
denting pada dentang
suara dari lembah sunyi
ketik memeluk ketuk
harmoni sempurnakan hari
dentang menyapa mimpi
warnawarni irama hati
gelombang pecah, katanya denting
o. terasa dalam diri
lalu ketuk menyapa malam
malumalu bulan merindu
sehingga ketik lah merentang
o. indah kurasa kini
Tabik
Puan Melayu
Medan, 26 Maret 2009
Lorong Sepi
dalam lorong dingin seorang gadis tertatih mengukur sepi, membaui kotoran suci yang berhembus kala langit dan bumi menari. terhempas dalam pekat, gadis pada malam mencoba membunuh bayang, bersahabat dengan lintasan, jejak di tumpukan sampah resah, tubuh di jalanan lelah.
o. tertatih sedu sedan
o. membaui rintihan kejadian
o. terhempas memcumbu cadas
o. membunuh barisan peluh
tertatih membaui sukma alam
terhempas membunuh wajah kelam
Tabik
Puan Melayu
Pria Dalam Permainan Jaman
Priapria jalang dari gugusan tak bertuan. Mengejar rerupa makhluk dari bentukan alam. Memburu serupa deru dari tarikan nafas tubuh yang berpeluh. Berkuasa atas irisan ruang, berkata atas potongan di sudut penghambaan. Permainan tak pernah usai, dari horison kelam mengurai tepian kerinduan.
Priapria jalang, tergerus di permainan jaman
Tabik
Medan, 26 Maret 2009
Medan, 26 Maret 2009
Jati Jiwa
Hembusan angin dari bilikbilik sribu jiwa, tertahan di kemuning bertahta, berbisik di punggung langit, rindu sekerat laut tergelak
Lalu badai jera menghantar, kakikaki bukit memerah amarah, titisan api liang pati suci, tiup seruling tak jua kembali
Tabik
Puan Melayu
Sayang, Yuk...
yuk kita ke sawah, ku ingin kaki indahmu rasakan dingin lumpur dan geliat cacing.
yuk kita ke kebun, ku ingin kau melihat tomat, cabe merah, dan timun yang siap dipanen
kau diam saja, tak memberi jawab
sayang, lihatlah anak kecil, ibu yang sedang menggendong anaknya, bapak yang tanggannya menjulur mengharap receh untuk makan.
sayang, hari ini kita makan di warung sudut jalan bawah jembatan yuk, orang bilang nasi sotonya enak sekali.
ada apa dengan wajah cantikmu, kau tak mau
inilah aku, jika kau mencintaiku
hiduplah sederhana denganku
bertemanlah dengan mereka
pun, jika kau masih ingin bersamaku
meleburlah bersama semesta
kau tersenyum dan berlalu, apa maksudmu??
selembar surat kau berikan padaku
betapa aku beruntung memilikimu
(15 Maret 2009)
Tapaktuan, Aceh Selatan
Tabik
Puan Melayu
Wanita Tua Itu
Seorang wanita tua duduk sendiri dan memandang ke arahku, kulihat duka, kulihat masa muda, kulihat derita di matanya, lalu dia tersenyum, memelukku, dan berkata "tersenyumlah sayang", dia pun berlalu.
Keesokan hari, aku bertemu lagi dengannya sama seperti kemaren. Kali ini di matanya kulihat bahagia, kulihat canda, dan berbagai kesenangan dunia, masa muda, dia menangis, memelukku, dan berkata "menangislah sayang", dia pun berlalu.
siapakah dirinya
Hari ini aku tidak akan membiarkannya berlalu
Aku sengaja datang lebih awal, tapi wanita tua itu sudah ada disana. Dia tidak tersenyum, pun tidak tertawa, di matanya kulihat sesosok wajah, aku melihat lebih lama untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah. Aku terdiam, dia berlalu dan tidak memelukku seperti biasa.
dia adalah aku, aku di masa tua yang sudah lelah menangis dan tertawa.
dia adalah aku, yang bertahan hingga tangis adalah tawa itu sendiri
dia adalah aku, yang berkata "berbahagialah atas tawa dan tangismu"
dia adalah aku
(15 Maret 2009)
Tapaktuan, Aceh Selatan
Tabik
Puan Melayu
Subulussalam, Aceh Selatan
(22 Maret 2009)
Perjalanan Cinta
Pusing, mual, perjalanan darat oh begitu menyiksa, berapa kelokan lagi, berapa lubang lagi, bapak supir, berapa lama lagi kita sampai, 8 jam lagi katanya, ahh...
Puan maharaniku, gadis kecilku yang kini telah beranjak dewasa, bersabarlah atas 8 jam perjalanan yang masih akan kau tempuh, nikmati kelokan seperti kau menikmati lagu dodoy si dodoy pengantar tidurmu, cengkok melayu puan adalah kelokan itu, nikmati lubang seperti saat kau mulai belajar jalan, berkali kali jatuh dan terhempas tapi kau tak pernah berhenti, kadang luka kau menangis namun terus kau berdiri dan berjalan lg, karena kau tau begitu nikmat berjalan, begitu nikmat jalan yang mulus dan lurus, sehingga kau akan berfikir dua kali untuk memilih jalan yang berkelok, dan kau akan lebih berhati hati akan lubanglubang yang akan menghadang di sepanjang perjalananmu menuju perjalanan yang sesungguhnya untuk bertemu Cintamu.
sabarlah anakku,kuatkan hati dan tekadmu dalam perjalananmu menujuNya
Tabik
Medan, 27 Maret 2009
Pesta Di Istana
kurcacikurcaci dari negeri seribu satu malam
menarimenari hingga fajar menjelang
bernyanyibernyanyi sertakan suara alam
ada pesta keriangan canda tawa suka ria di istana
maharaja permaisuri senang hati
pangeran dan putri tersipu bersyair seribu puisi
ksatria, hulu balang, punggawa berjaga amankan suasana
kesana kemari dayangdayang sibuk menata meja
rakyat jelata, bocahbocah, orang tua, diundang meriahkan acara
hewanhewan, tumbuhan, ahh...tak ketinggalan ternyata
rasanya indah, tidak terkira, semuasemua ikut serta
akhirnya doa, akhirnya syukur, ucap di dada
Tabik
Puan Melayu
aku tersenyum pada matahari tak lupa kusapa awan dan hembusan angin, ahh..ternyata ada yang menyentuhku sebuah getar dari debar yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata, wajahku merona dan tak sanggup kusembunyikan malu. Pasti mereka sudah tau, padahal sudah kukatakan pada belalang "kau jagalah rahasiaku ini ya", tapi mengapa anyelir putih, anggrek hutan, dan kembang sepatu menatapku sambil berbisik, kututup wajahku berharap keindahan ini tak akan pernah berakhir.
berjalan sendiri mengitari desa mengingatkanku padanya, jalan setapak dan berbatu membuatku berkali-kali jatuh dan aku terkejut tatkala seorang tampan mengulurkan tangannya untuk menolongku, "hati-hati nona, aku tak rela jika bebatuan itu membuat kulit mu yang halus bak pualam tergores karena aku akan sangat merasa berdosa karenanya", jika mampu aku ingin hentikan waktu, diam dan terus saja mendengarkannya bercerita sambil menatap binar di wajah itu, aku hanyut dalam pesonanya dan tak ingin keluar lagi.
aku selalu menantinya, melewati jalan yang sama dan berharap bertemu dengannya. seperti tau akan isi hatiku, dia selalu muncul dengan seikat bunga yang dirangkai dengan rumput liar, kupastikan bahwa aku telah jatuh cinta. entahlah, aku tak tau apakah dia juga mencintaiku tapi aku tidak mau pusing memikirkannya dan kuyakinkan diriku bahwa dia pun mencintaiku. kehadirannya seperti misteri bagiku, tiba-tiba saja dia sudah ada disampingku, memeluk dan membisikkan kalam indah "aku sangat merindukanmu, jauh darimu adalah siksa bagiku", aku terdiam menikmati hangat tubuhnya.
aku memutuskan untuk menikah dengan lelaki tampan itu, yang merengkuhku saat jatuh, yang memelukku dalam rindu dan yang mampu hadirkan bulan bintang di wajahku. pernikahan sederhana di bawah bulan purnama, dewa dewi menjadi saksi atas kebahagiaan, atas segala rasa yang membuncah meruah dan terpancar laksana kilatan seribu cahaya tapi aku lupa ketika seberkas sinar menjemputku dan mengatakan "wahai putri langit kau telah melanggar sumpahmu, kau telah jatuh cinta dan lupa akan tugasmu menjaga damai bumi dan sekarang kau harus kembali, karena kelalainmu lihatlah akan timbul bencana alam, tangis bayi dan jerit karena padi enggan menguning, gunung muntahkan lahar panas, laut bergejolak marah atas penghianatanmu namun tak ada apa yang bisa kau lakukan".
kepada makhluk bumi maafkan aku, cinta telah membuatku buta hingga melupakan tugas dan kewajibanku menjagamu, rasakan sesal dan sedihku saat hujan turun yang sejatinya adalah air mataku, petir, halilintar dan guntur adalah gundah gulanaku, namun aku yakin tanpaku kalian akan wujudkan damai di bumi. kekasihku, jika kau rindukan aku, lihatlah, aku meluruh bersama pelangi tersenyum kepadamu
(10 Maret 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar